ENGLISH LANGUAGE IMMERSION BERBASIS KEARIFAN
LOKAL
BAGI
ANAK-ANAK TINGKAT SEKOLAH DASAR
By Yusup Supriyono
Bagian
1
Pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa
asing pada tingkat sekolah dasar sangat unik dan membutuhkan profesionalitas
guru yang tinggi. Guru bahasa di sekolah dasar tidak hanya dituntut pada
penguasaan materi ajar dan pedagogik namun juga harus memiliki karakter kuat
yang tetap menjunjung akar budaya asal. Hal ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa peserta didik adalah pebelajar muda yang usianya antara 6- 12 tahun,
belum memiliki akar budaya yang kuat namun termasuk pebelajar aktif (active learners) yang siap mendapatkan
pengetahuan dan pengalaman baru. Sudah barang tentu usia ini rentan dengan
perubahan atau pengaruh asing yang pada gilirannya akan membentuk pemahaman,
sikap atau perilaku tertentu merefleksikan adanya pergeseran budaya (culture shift). Oleh karena itu,
seorang guru harus memiliki pemahaman terhadap nilai budaya dan nilai akademik (culture and learning values) sehingga
proses pembelajaran tidak akan melemahkan suatu budaya tertentu atau
meninggalkannya, melainkan memperkaya perbendaharaan budaya sebagai konsekwensi
logis bagian dari masyarakat dunia.
Kekhawatiran pemerintah terhadap terjadinya
degradasi nilai-nilai nasionalisme, khususnya pada anak-anak sekolah dasar
sebenarnya tidak perlu terjadi dan menimbulkan kegaduhan dalam penyelenggaraan
bahasa Inggris atau bahasa asing lainnnya pada tingkat sekolah dasar kalau guru
mampu mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal atau kearifan lokal pada
pembelajaran bahasa Inggris, yang terefleksikan pada muatan bahan ajar dan
kegiatan belajar.
Pendekatan
English Language Immersion program berbasis Kearifan lokal hadir sebagai
problem solving dari kondisi tersebut. Sasaran program ini adalah pebelajar
muda (English young learners), khususnya
pada tingkat sekolah dasar. Para peserta dapat belajar bahasa Inggris dengan
menggunakan perpaduan konten lokal dan internasional, sehingga memungkinkan
akan adanya belajar lintas budaya, dan pola-pola belajar menggunakan teori
pemerolehan bahasa kedua (Second language
acquisition).
Studi
mengenai immersion education,
khususnya language immersion program telah
banyak dilakukan dibeberapa negera misalnya (Tara W. Fortune and Diane J. Tedick; Fred H. Genesee1992; Lindsay Morcom; Stephen
J. Caldas and Suzanne Caron-Caldas 2010). Tujuan immersion program adalah
menyediakan pengalaman belajar mulai dari tingkat pendidikan kanak-kanak
sampai pendidikan menengah 12 tahun. Immersion
Program dapat membantu meningkatkan akademik dan pengembangan bahasa dengan
menggunakan dua bahasa dan mengembangkan apresiasi siswa terhadap budaya
sendiri dan budaya lain.
Nampak
disini adanya akulturasi budaya karena
pada immersion program, seorang
pembelajar akan mengunakan minimal lebih dari satu bahasa termasuk budaya didalamnya.
Karena belajar bahasa tidak bisa terlepas dari budaya sebagai kontennya. Oleh
Karen itu Fortune and Tedick menyebutkan bahwa salah satu kunci penting dalam
immersion education adalah pengetahuan bahasa dan budaya menjadi sumber belajar.
Oleh karena itu hubungan antara bahasa dan identitas nasional sangat kuat dan
tidak bias terpisahkan satu sama lainnya
(Fishman, 1985). Demikian Immersion
education dapat meningkatkan pengetahuan bahasa dan budaya, lebih lanjut
dapat menjadikan pebelajar cakap dalam bahasa kedua dan meningkatkan kesadaran
budaya dan mencapai prestasi akademik yang tinggi.
English language immersion berbasis
kearifan lokal diartikan sebagai program pembelajaran bahasa Inggris yang dalam
proses interaksinya menggunakan bahasa Inggris dan menginklusikan nilai-nilai
budaya lokal dan nasional. Pada praktisnya akan terjadi akulturasi antara
budaya bahasa target dan bahasa bawaan. Hal ini ini dilakukan sebagai upaya
bahwa belajar bahasa asing tidak berarti melupakan nilai-nilai budaya sendiri.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka materi ajar akan disesuaikan dengan
kebutuhan, karakteritik, nilai-nilai budaya yang positif pebelajar.
Hal inilah yang menjadi kelebihan dari
English language immersion berbasis
kearifan lokal, yaitu peserta didik disamping dapat menguasai bahasa Inggris
dasar, mereka juga siap secara psikologis, sosial dan budaya dan tidak
melupakan akar budaya. Lebih jauh mereka akan menjadi duta bangsa di masa depan
yang akan menyampaikan pesan kepada dunia bahwa bangsa Indonsia adalah bangsa
yang besar yang memiki keunggulan-keunggulan lokal yang dapat dinilai secara
ekonomi maupun politik yang patut dibanggakan ditingkat dunia melalui kemampuan
komunikasi global yang mereka kuasai.
References:
Caldas, S. J., & Caron-Caldas, S. (1999). Language
immersion and cultural identity: Conflicting influences and values. Language Culture and Curriculum,12(1),
42-58.
Fred H.
Genesee1992. Second/Foreign Language Immersion and at Risk English-Sepaking
Children. Foreign Language Annasls, 25, No. 3, 1992.
Fishman. (1985).
Language, ethnicity and racism. In J.A. Fishman, M,H. Gernter, E.G. Lowy and W.G. Milan (eds) The Rise and Fall
of the Ethnic Revival: Perspectives on Language And Ethnicity (pp.3-13).
Berlin: Mouton Publishers.